poetingan
Cerita Hantu | Cerita Seram | Saksi HantuCerita Hantu | Cerita Seram | Saksi Hantu
Air
Phie, 19, Bangkok
"Teteskan darah kalian masing-masing ke dalam botol dan oleskan sebagian
pada kertas putih kecil yang digulung dan dimasukkan ke dalam botol
yang sama sebelum kalian sumbat erat dan kalian lempar ke laut lepas
..."
Kata-kata itu terus terngiang di telinga ketiga sahabat yang sedang
berkumpul di sebuah warung setempat, tempat mereka biasa bertemu dan
menghabiskan waktu setelah mereka satu per satu kehilangan pekerjaan
beberapa waktu sebelumnya. Keadaan ekonomi sedang sulit waktu itu.
Banyak perusahaan jatuh bangkrut dan terpaksa merumahkan ratusan bahkan
ribuan karyawannya, termasuk Bjong, Vikram, dan Chui.
"Bagaimana pendapat kalian? Apakah kita sebaiknya mengikuti apa yang
dikatakan wanita itu?" Bjong bertanya sambil mengepul-ngepulkan asap
rokoknya.
"Entahlah. Aku sendiri masih ragu-ragu." Vikram menjawab pelan.
Chui yang selama ini hanya diam mendengarkan, ikut menimpali dan
berkata,
"Tapi menurutku, tak ada salahnya jika kita mencoba melakukan hal itu.
Tak akan ada ruginya, bukan?"
Bjong mengangguk-anggukkan kepalanya. Asap putih mengepul dari rokoknya
yang sudah tinggal setengah. Kemudian ia menepuk punggung Chui.
"Baiklah. Kita akan melakukannya malam ini juga."
Chui tersenyum lega. Sementara itu Vikram tidak mengatakan apa-apa. Ia
sebetulnya tidak begitu menyetujui usul temannya itu untuk mencari
kekayaan dengan cara mistis. Tapi tak enak rasanya jika ia menentang dan
menghalangi mereka. Selama ini mereka bertiga selalu bersama, baik
dalam suka maupun duka. Dan malam ini, sekali lagi ia akan menjadi
bagian dalam kebersamaan mereka.
****
Pagi itu warung ‘Furao’ terlihat ramai tak seperti biasanya. Para
pelayan lalu lalang mengantarkan pesanan para tamu. Bjong dan kedua
sobat kentalnya terlihat sedang bersantai sambil meminum kopi dan
membaca koran di sudut ruangan. Hampir setiap hari mereka
berkumpul-kumpul seperti ini semenjak perusahaan tempat mereka bekerja
satu per satu jatuh bangkrut dan tak punya pilihan lain selain menutup
usaha mereka.
Dahulu Bjong adalah seorang karyawan di suatu pabrik makanan instan
milik Singh, temannya satu sekolah dulu. Dia sudah mulai bekerja di situ
sejak perusahaan temannya tersebut masih belum berkembang dan Singh
masih ke mana mana dengan sepeda tuanya.
Lama-kelamaan usaha Singh mulai berkembang, dan dia mulai sibuk
mengembangkan usahanya yang tersebar hampir di seluruh penjuru Bangkok
dan Phuket. Sepeda tua yang dulu ditungganginya pun sudah lama
ditinggalkannya. Kini mobil keluaran terbaru selalu siap mengantarnya ke
manapun ia pergi.
Sementara itu, keadaan Bjong masih sama seperti dahulu. Pergi ke tempat
kerja milik temannya itu naik sepeda biru tua yang catnya sudah
terkelupas di sana sini. Keadaan majikannya semakin lama semakin membaik
dan makmur. Sementara Bjong sebagai bawahannya sudah harus bersyukur
dengan gaji yang diterimanya setiap bulan yang hanya mencukupi untuk
membiayai seorang istri dan ketiga orang anaknya yang masih kecil-kecil.
Ketika keadaan perekonomian memburuk dan perusahaan Singh harus ditutup,
Bjong hanya menerima sedikit sekali uang pesangon dari majikannya itu.
Singh beralasan bahwa keadaan sangat buruk dan dia tidak mempunyai uang
lebih untuk membayar Bjong, ataupun karyawan-karyawan lainnya. Bahkan ia
pun terpaksa menjual beberapa perusahaannya untuk membayar
hutang-hutangnya yang menumpuk.
Tapi seburuk-buruknya keadaan waktu itu, Bjong melihat bahwa Singh masih
bisa makan di restoran mewah bersama keluarganya dan masih terlihat
mengendarai mobil-mobilnya yang mewah. Bjong hanya bisa menghela napas
sambil menggerutu mengingat keadaan waktu itu. Semiskin-miskinnya orang
kaya, mereka masih dapat hidup mewah dan hidup enak!
“Gimana nih, sudah ketemu pekerjaan yang kau suka?” katanya sambil
melirik Vikram yang duduk di sebelahnya sambil menyeruput kopinya yang
mulai dingin.
Vikram membolak-balik halaman koran yang sedang dibacanya. Ia sedang
mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengan dirinya. Sesekali ia
terlihat antusias. Tetapi beberapa saat kemudian ia mendesah kecewa.
"Susah amat! Ada beberapa pekerjaan yang sepertinya cocok dengan latar
belakang pendidikanku, tapi mereka tak menerima orang-orang uzur seperti
kita," keluhnya. "Mereka seharusnya lebih memprioritaskan orang
berpengalaman seperti kita-kita ini."
"Kau seperti tak mengerti saja. Perusahaan kan lebih suka menggaji
anak-anak muda yang baru lulus dan belum berpengalaman, karena mereka
bersedia digaji rendah," Bjong berujar.
Chui mengangguk mengiyakan. "Betul katamu itu. Kalau begitu, bagaimana
caranya kita mendapatkan uang untuk menghidupi keluarga kita jika kita
tak memperoleh pekerjaan lagi?"
Semua terdiam. Mereka tahu bahwa mencari pekerjaan baru jauh lebih sulit
daripada mempertahankan pekerjaan yang sudah ada. Itu pun tak dapat
mereka lakukan ketika mereka kehilangan pekerjaan mereka beberapa waktu
yang lalu. Mereka hanya bisa pasrah menerima kenyataan bahwa perusahaan
tempat mereka bekerja tak sanggup lagi menggaji mereka dan mereka harus
puas menerima pesangon yang tak seberapa.
Sekonyong-konyong keheningan mereka dipecahkan oleh suara seorang wanita
yang datang dari arah belakang Bjong yang sedang duduk membelakangi
jalan. Wanita yang sudah berumur namun masih terlihat cantik dan modis
itu datang menghampiri mereka.
"Aku dapat memberitahu kalian bagaimana caranya menjadi kaya dengan
mudah."
***
Ombak bergulung-gulung berdebur memecah pantai. Suaranya yang gemuruh
diiringi jerit pekik burung-burung laut, menambah kesan misterius malam
yang dingin itu.
Bjong, Vikram, dan Chui baru saja tiba di pantai berbatu itu. Tempat
tersebut jarang dikunjungi orang, bukan saja karena tempat itu sangat
terpencil, tapi juga karena ombaknya yang besar dan ganas membuat takut
orang-orang yang ingin berenang di situ.
"Sepertinya inilah saatnya," Chui berkata sambil melirik arloji murah
yang melingkar di pergelangan tangannya. Waktu tepat menunjukkan pukul
dua belas malam.
Bjong mengeluarkan silet dari saku kemejanya dan ia membuat sayatan
kecil pada ujung jari manisnya. Darah segar mulai menetes ke dalam botol
kecil yang dipegang Vikram. Setelah dirasanya cukup, ia mengoleskan
sedikit darahnya pada kertas kecil yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Chui dan Vikram melakukan hal yang sama. Mereka bergiliran menyayat
sedikit ujung jari manis mereka dan membiarkan darah segar menetes ke
dalam botol dan mengoleskan sedikit ke atas kertas.
Setelah semuanya selesai, Bjong memasukkan kertas yang sudah ternoda
darah ke dalam botol yang berisi campuran darah ketiga orang itu. Ia
kemudian menyumbat erat botol kecil itu dan berjalan menghampiri laut.
Sementara kedua temannya menunggu di pantai.
Bjong berjalan semakin menjauhi daratan dan air pasang kini telah
menggenangi pahanya. Tanpa ragu-ragu ia melemparkan botol itu jauh-jauh
ke tengah laut.
***
Hari sudah menjelang pagi. Semburat sinar mentari menaburkan kilau
keemasannya di permukaan laut yang terlihat tenang.
Bjong dan kedua temannya tampak masih terlelap. Gemerisik dedaunan dan
ranting pohon di atas mereka perlahan memaksa Vikram membuka matanya,
dan kemudian segera membangunkan Bjong dan Chui yang masih terhanyut
dalam mimpi mereka masing-masing.
Beberapa menit kemudian mereka bertiga terlihat berjalan-jalan di tepi
pantai. Mereka tampak seperti sedang mencari sesuatu. Setelah beberapa
saat Chui berseru kegirangan memanggil kedua orang temannya.
"Aku menemukannya! Lihat, bukankah ini botol yang tadi malam kita lempar
ke tengah laut? Kita telah menemukannya!"
Teman-temannya segera menghampirinya. Vikram mengambil botol tersebut
dan melihatnya dengan seksama. "Ya, betul! Tapi tidak ada darah lagi di
dalamnya, walaupun kertas itu masih ada. Botol ini tidak mungkin bocor
karena kertas ini tampak masih kering."
Tiba-tiba perasaan aneh mulai menyelimuti dirinya.
Bjong tidak sabar lagi. Direbutnya botol itu dari tangan Vikram dan
segera dibukanya sumbat botol tersebut. Teman-temannya menahan napas
ketika Bjong mengeluarkan kertas dari dalam botol dan membuka
gulungannya.
Tak ada lagi noda darah pada kertas itu. Kertas itu tampak putih bersih.
Bjong menghampiri tepi laut dan ia membungkuk, membiarkan ombak laut
menjilati kertas itu.
Beberapa saat kemudian hal yang paling mustahil terjadi di depan ketiga
pasang mata para sahabat itu.
Pelan namun pasti, empat buah angka mulai terlihat di atas kertas yang
semula putih bersih.
Lima ... empat ... satu ... enam.
Chui dan Bjong bersorak gembira. Mereka segera mencatat angka-angka
tersebut, sementara Vikram hanya diam mematung. Semua hal itu membuat
perasaannya tak enak.
***
Bjong dan Chui segera membuka halaman koran bagian tengah. Tampang
mereka serius sekali. Kemudian mata mereka tertuju pada sebuah kolom
kecil di pojok kanan atas.
Lima ... empat ... satu ... enam!
Mereka saling berpandangan. Senyum licik penuh kemenangan terukir di
wajah mereka sebelum akhirnya mereka berteriak gembira dan saling
berpelukan. Impian mereka selama ini untuk memperoleh kekayaan yang
mereka inginkan kini tampak di depan mata. Mobil mewah… vila…
jalan-jalan ke luar negeri…emas… berlian…
***
Orang-orang menutup hidung ketika polisi mengangkat jenasah salah satu
putra Bjong yang hilang dari dalam air, sebelum kemudian memasukkannya
ke dalam ambulans yang diparkir di tepi pantai. Wajahnya hampir tak bisa
dikenali lagi. Tubuhnya membengkak dan tak utuh lagi dengan disertai
luka di sana sini. Mungkin akibat dimakan binatang laut, setelah
menghilang selama beberapa hari sebelumnya sewaktu berenang di perairan
lepas bersama adiknya, yang sampai saat ini jasadnya masih belum
ditemukan.
Beberapa hari kemudian, istrinya yang tak kuat mengalami penderitaan
ini, ditemukan telah tewas tak bernyawa mengambang di permukaan sungai
dengan kepala hancur hampir tak berbentuk dan tubuh memar di sana sini
akibat benturan benda keras di sekitar sungai. Orang-orang sebelumnya
melihat wanita malang ini berjalan mondar-mandir dengan pandangan hampa
sesaat sebelum akhirnya memanjat ke atas pagar jembatan dan terjun bebas
ke sungai sehingga kepalanya luka parah terbentur pagar pembatas.
Perhiasan-perhiasan mahal masih melekat di tubuhnya ketika orang-orang
menemukannya di sungai.
Bjong sangat terpukul dengan semua ini dan ia harus menghuni rumah sakit
jiwa. Beberapa orang perawat kerap kali memergokinya sedang
melempar-lemparkan botol kosong ke dalam bak air sambil berteriak dan
tertawa-tawa.
Chui tersiram air panas sewaktu sedang memasak dan sekujur tubuhnya
melepuh. Ia dirawat selama beberapa hari di rumah sakit setempat. Tapi
lukanya yang parah telah menimbulkan infeksi dan berbagai penyakit
komplikasi lainnya, sehingga ia tak dapat bertahan lagi dan
menghembuskan napas yang terakhir.
Vikram yang tak sepenuhnya mengikuti permainan maut kedua temannya tak
luput dari musibah. Secara tiba-tiba saja ia terpeleset sewaktu
menyeberang di jalan raya. Sebuah mobil yang melintas tak bisa lagi
menghindarinya dan menggilas kedua kakinya hingga hancur. Ia akhirnya
selamat setelah seseorang melihat kecelakaan tersebut dan bergegas
membawanya ke rumah sakit terdekat.
Tak seorang pun mengetahui mengapa ketiga sahabat ini mengalami musibah
yang sangat mengerikan secara hampir bersamaan. Dan semua musibah yang
menimpa mereka disebabkan oleh air, yang telah memberikan apa yang
mereka inginkan, dan yang menuntut imbalan atas apa yang telah mereka
peroleh.
Ke sanalah mereka telah mengantarkan darah mereka. Dan dari sana pulalah
siulan kematian itu mengalun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar